Wadah yang ekologis untuk perjalanan

Setelah berjuang secara heroik mencari tiket untuk balik di hari yang umumnya wong do balik, yang mana agak susah mendapatkannya secara dadakan atau go show, pagi ini saya sudah di kereta jarak jauh menuju ke arah timur. Ndak ada yang istimewa dari heroisme mencari tiket dadakan, wis biasa, saya memang terlahir untuk hal hal yang heroik. Gantheng, sangar, dan heroik itu middle name saya, sayange yo mung rak nduwe duit, jadi kelebihan itu tersilapkan oleh rupo kere dangkle.


Setelah mengobrol dengan kursi sebelah, selayang pandang menyapu isi kereta, sambil lingak linguk penuh kewaspadaan yang rak perlu juga sakjane, mata saya tetuju pada slampiran kresek dibelakang kursi kereta tepat di depan saya. 

Hampir semua kantong slempitan di belakang kursi ada kreseknya, tipis berwarna putih. Insting pemburu saya mengatakan tidak mungkin kresek itu untuk buntel gundul sebagai alternatif penerapan protokol kesehatan. Nyaris tidak mungkin juga petugas pramugari pramugara sepur dagang makanan, nasi atau sesuatu untuk dibawa pulang, kecuali souvenir atau dagangan koperasi, yang memang agak jarang terjadi semua penumpang membelinya secara serentak.

Lalu untuk apakah kresek itu nyaris di semua slempitan kantong? Ya bisa jadi memang dipersiapkan untuk penumpang siapa tahu butuh untuk bawaannya supaya ringkas, untuk sampah penumpang atau untuk mengantisipasi jackpot penumpang ketika mujur datang.

Jackpot? Ya. 
Mual dan muntah itu suatu hal yang jamak di perjalanan, bahkan suatu hal yang wajar terjadi sejak jaman minak jinggo. Dulu sewaktu kecil mengantisipasi mual dan muntah, udel ditempeli salonpas. Iya koyo cabe, mungkin biar angin nggak masuk ke tubuh via udel, entahlah, tetapi itu ampuh saat itu, atau dengan mimik seprit, berbagai macamlah upayanya.

Tentu akan berbiaya besar jika minuman seprit atau koyo cabe dibagi di tiap slempitan kantong kursi dan dengan dimensi yang kecil dan bentuk yang koyo dolanan, malah nanti tidak tepat sasaran jika ketemu anak kecil, buat stiker stikeran atau ditemplekke sak nggon nggon, atau kalau ditangan orang rak cetho seperti anda, entah buat nglakban bawaan, atau buat ngerjain teman perjalanan anda. Benar benar nggak efektif dan efisien. Untuk sementara kresek ini paling efektif dan efisien, sampai entah kapan nanti ada penemuan teknologi baru atau produk pendukung muntah2, coba njenengan cek sendiri ke lembaga riset, saya rodo sibuk untuk cek dan ricek hal hal seperti ini.

Beberapa waktu lalu th 2016 giat dimulai kampanye pengurangan plastik, terutama yg ldpe macam tas kresek, karena cukup mencemari dsb dsb dengan segala pro dan kontranya. Alternatif produk pengganti bermunculan dengan segala kelebihannya, (kekurangannya nggak dikampanyekan sih). Bahkan di beberapa pasar rakyat sudah digencarkan penggunaan bahan alami atau kembali seperti jaman dulu, memakai daun pembungkus atau anyaman bambu besek. Ini bagus dari sisi ekologis, dan bagus juga dari sisi pemberdayaan industri kecil produsen elemen pembungkus itu.

Balik ke kereta ini, sempat berpikir dengan urgensi yang rak perlu sebenarnya, utah utahan anda itu sudah pasti ekologis kecuali anda sedang ndadi atau anda memang titisan jathilan yang hobi makan beling. Yang masih perlu direnungkan (kalau anda lagi rak ono gawean saja ya) adalah wadahnya, bagaimanakah kita mengganti wadah utah utahan agar lebih ekologis?

Dengan totebag agar bisa dipakai untuk muntah2 secara berulang kali?

Dengan paperbag agar utah utahan lebih eksentrik dan lucu?


Dengan tumbler agar bisa dipakai berulang kali dan sekalian secara ekstrim direcycle menjadi kueh basah dengan menambahi bumbu seperlunya dan langsung masuk oven?

Dengan besek tentunya nggak mungkin, selain dimensi yang bulky untuk dislempitkan di belakang kursi, akan terlihat nggilani juga pating clepret karena utah2an anda melewati celah anyaman.

Dengan daun pisang atau daun jati meski ada possibilities karena di pasar masih ada bubur yang dijual dengan bungkus daun, tapi pasti jadi agak repot, karena di era modern ini nggak semua orang bisa membungkus dengan daun. Nggak lucu juga jika diperlukan pramugari atau pramugara kereta mendemonstrasikan cara membungkus daun sebagai prosedur emergency muntah2 disetiap keberangkatan kereta layaknya pramugari pesawat mendemokan prosedur keselamatan. 
".. Muntahlah dengan cara begini.. atau begini  .. lalu lipat daunnya seperti ini.. lalu seperti ini.. harap anda membungkus utah2an anda dahulu sebelum anda membantu utah2an penumpang lain.."

Resiko daun adalah ketersediannya, masihkah anda menjumpai daun jati di tempat anda sebagai pembungkus? Supply produk alam itu tidak pasti, sangat bergantung pada faktor alam salah2 pihak penyedia mengorder daun pembungkus dari wilayah lain akibat kelangkaan supply, malah nanti justru utah utahan anda menjadi besar dan meningkat volumenya, karena ternyata daunnya datang dari wilayah Papua

Kebutuhan, keterbatasan, kreativitas, teknologi dsb dsb adalah lingkup yang selalu saling berkait, dalam hal utah utahan anda ini konteks ekologis mungkin sudah teratasi dengan bioplastik dari zat2 organik, jadi tinggal memastikan kresek yang terslampir sebagai guardian utah utahan anda ini biodegradable atau tidak. Ya kita memang tidak bisa lepas dari plastik, sementara ini.

tememplek by endik kurang luwih jam 12:02 p.m.,

0 gayung bersambut:

Een reactie posten

<< mbalik

sakderengipun kawula nyuwun agunging samudra pangaksami dumateng panjenengan sami, sesepuh pinisepuh, bapak bapak saha ibu ibu, mas mas saha mbak mbak ingkang kersa mampir dhateng papan kawula menika, menawi wonten kalepatan, sedaya klenta klentunipun bilih tumindak lan atur, nyuwun boten dipun dadosaken penggalih, mugi mugi Ngarsa Dalem Sing Ngecat Lombok paring berkah..